Top News

Serial akhir zaman part 3 (Terbelahnya bulan)

 


Daftar isi

A. Hadits hadits terkait terbelahnya bulan. 2

B. Pandangan Rasyid Ridha tentang terbelahnya bulan. 3

1.     Ketidakberadaan Bukti Historis Global 4

2.     pengaruh Tradisi Cerita Rakyat (Mitos dan Legenda Lokal) 4

3.     Ekspektasi Umat Islam tentang Mukjizat Nabi 5

4.     Interpretasi Ayat Al-Qur'an. 5

5.     Kelemahan dalam Riwayat Hadis. 5

a. Keberagaman dalam Narasi Peristiwa. 6

b. Tidak Ada Konsensus Periwayatan dari Berbagai Sahabat 6

c. Potensi Penyesuaian dengan Tafsir Ayat 7

d. Ketergantungan pada Tradisi Lisan. 7

6.     Kecenderungan Rasionalisme. 7

C. Pendapat kaum Mu'tazilah dan orientalis. 8

1.     Argumen Mu'tazilah. 8

a.  Ketidaksesuaian dengan Prinsip Rasionalitas: 8

b.     Ketiadaan Catatan Global: 8

c.  Alternatif Penafsiran: 9

2.     Argumen Kalangan Orientalis. 9

a.     Kemungkinan Mitos atau Cerita Rakyat: 9

b.     Kurangnya Verifikasi Historis: 9

c.  Kemungkinan Pengaruh dari Tradisi Lain: 9

d.     Kritik terhadap Periwayatan Hadis: 9

D. Penolakan Lain dari Kalangan Muslim Rasionalis. 10

Kesimpulan. 10

 

Pendahuluan

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat datang kembali di Pena Ensiklopedia Islam. Dalam serial 'Akhir Zaman' kali ini, kita akan membahas tanda kedua dari akhir zaman yang begitu menarik perhatian, yaitu peristiwa terbelahnya bulan. Apakah benar-benar terjadi? Ataukah ada sudut pandang lain? Mari kita bahas dengan santai namun tetap mendalam."

A. Hadits hadits terkait terbelahnya bulan

Terbelahnya bulan merupakan sebuah mukjizat yang terjadi di masa Rasulullah SAW dan disaksikan oleh banyak orang. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencantumkan berbagai hadis yang menceritakan peristiwa ini. Anas bin Malik menyampaikan: 

أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ سَأَلُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرِيَهُمْ آيَةً فَأَرَاهُمْ انْشِقَاقَ الْقَمَرِ مَرَّتَيْنِ 

Artinya: "Penduduk Mekkah pernah meminta Rasulullah untuk menunjukkan suatu tanda (kenabian). Maka Rasulullah pun memperlihatkan kepada mereka peristiwa terbelahnya bulan sebanyak dua kali."

Abdullah bin Mas'ud juga meriwayatkan: 

انْشَقَّ الْقَمَرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِفَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْهَدُوا اشْهَدُوا 

Artinya: "Pada masa Rasulullah, bulan pernah terbelah menjadi dua belahan. Lalu Rasulullah bersabda, 'Saksikanlah, saksikanlah!'." 

Selain itu, Abdullah bin Mas'ud juga menuturkan: 

بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنِّى إِذَا انْفَلَقَ الْقَمَرُ فِلْقَتَينِ فَكَانَتْ فِلْقَةٌ وَرَاءَ الْجَبَلِ وَفِلْقَةٌ دُونَهُ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْهَدُوا 

Artinya: "Saat kami bersama Rasulullah di Mina, tiba-tiba bulan terbelah menjadi dua bagian. Sebagian belahan berada di balik bukit, dan sebagian lagi di bawah bukit. Rasulullah kemudian bersabda kepada kami, 'Saksikanlah'."

Hadis tentang terbelahnya bulan merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, termasuk Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, dan Abdullah bin Abbas. Para ulama hadis, melalui disiplin ilmu jarh wa ta'dil, telah meneliti sanad dan matan hadis ini untuk menentukan keasliannya. Mayoritas ulama hadis menganggap hadis ini sahih. Imam Bukhari dan Imam Muslim memasukkan riwayat tentang terbelahnya bulan dalam kitab sahih mereka, yang menunjukkan bahwa mereka menilai hadis ini memiliki sanad yang kuat dan perawi yang terpercaya. Selain itu, hadis ini juga tercantum dalam kitab-kitab hadis lainnya, seperti Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah, dengan berbagai jalur periwayatan yang memperkuat statusnya sebagai hadis sahih. Para ulama sepakat bahwa bulan memang  pernah benar-benar terbelah pada masa Rasulullah. Peristiwa ini termasuk salah satu mukjizat yang luar biasa, yang menjadi bukti kenabian beliau, Sekaligus sebagai tanda akan dekatnya hari kiamat.

B. Pandangan Rasyid Ridha tentang terbelahnya bulan

Rasyid Ridha adalah seorang reformis Islam modernis, beliau mengajukan, kemungkinan bahwa hadis-hadis tentang terbelahnya bulan mungkin dipengaruhi oleh tradisi cerita rakyat atau ekspektasi umat Islam yang berlebihan terhadap mukjizat Nabi Muhammad. Berikut penjelasan argumen tersebut secara lebih rinci:

Beberapa ulama modern, seperti Muhammad Rasyid Ridha, beliau mengkritisi hadis ini. Ridha menolak hadis tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi, meskipun hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab sahih. pandangan seperti Rasyid Ridha merupakan minoritas dikalangan para ulama. Sebab Konsensus ulama hadis klasik tetap menganggap hadis tentang terbelahnya bulan sebagai hadits sahih, berdasarkan penelitian mendalam terhadap sanad dan matannya.

Selai hadits  nabi, ada juga ayat dari al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa bulan telah terbelah, yaitu di dalam Surah Al-Qamar ayat 1-2:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ ١ وَإِن يَرَوْا ءَايَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌ ٢

Terjemahannya: 

"Telah dekat hari kiamat, dan bulan pun telah terbelah. Namun, jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, '(Ini adalah) sihir yang terus-menerus'." (QS. Al-Qamar [54]: 1-2). 

Ayat ini sering di tafsirkan oleh para ulama tentang fenomena terbelahnya bulan di zaman nabi tersebut, sekaligus semakin memperkuat keabsahan hadis-hadis tentang terbelahnya bulan. Dengan demikian, berdasarkan penelitian para ulama hadis dan dukungan dari Al-Qur'an, hadis hadits tentang terbelahnya bulan umumnya dianggap sahih dan dapat diterima sebagai bagian dari mukjizat Nabi Muhammad SAW. Namun Muhammad Rasyid Ridha, yang adalah seorang ulama dan pemikir Islam modern, mengajukan beberapa argumen kritis terhadap hadis hadits tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Penolakannya didasarkan pada pendekatan rasional dan historis yang sering ia gunakan dalam menafsirkan teks teks agama.

Berikut adalah alasan yang mendasari kritiknya:

1.    Ketidakberadaan Bukti Historis Global

Peristiwa kosmik seperti terbelahnya bulan adalah kejadian yang bersifat universal dan akan mempengaruhi seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak mungkin fenomena sebesar ini hanya diketahui oleh penduduk Mekkah tanpa meninggalkan jejak dalam catatan sejarah dunia lainnya. Ridha berpendapat bahwa jika bulan benar-benar terbelah, fenomena luar biasa semacam itu seharusnya tercatat dalam sejarah bangsa-bangsa lain di dunia. Peristiwa seperti ini pasti akan menarik perhatian astronom dan ahli sejarah pada masanya, terutama di kawasan seperti Romawi, Persia, India dan china, yang memiliki tradisi pencatatan sejarah yang kuat. Namun, tidak ditemukan catatan sejarah yang mencatat fenomena tersebut di luar tradisi Islam.

2.    pengaruh Tradisi Cerita Rakyat (Mitos dan Legenda Lokal)

Rasyid Ridha mengemukakan bahwa dalam budaya masyarakat Arab, cerita-cerita yang luar biasa sering kali menjadi bagian dari tradisi lisan mereka. Cerita seperti ini biasanya diwariskan dari generasi ke generasi dan bisa bercampur dengan kepercayaan agama atau kisah sejarah. Menurutnya, kemungkinan hadis tentang terbelahnya bulan bisa terpengaruh oleh tradisi semacam itu, di mana orang-orang mendambakan kisah-kisah spektakuler yang memperkuat keyakinan terhadap seorang pemimpin atau tokoh agama. Dalam konteks ini, umat Islam mungkin menyerap narasi mukjizat yang spektakuler sebagai pembuktian kenabian, serupa dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

3.    Ekspektasi Umat Islam tentang Mukjizat Nabi

Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam pada masa awal mungkin memiliki ekspektasi bahwa Nabi Muhammad akan menunjukkan mukjizat fisik, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci tentang nabi-nabi terdahulu, seperti Musa yang membelah laut atau Yesus yang menyembuhkan orang sakit. Ekspektasi ini dapat memotivasi munculnya kisah-kisah mukjizat untuk memperkuat keimanan umat Islam pada masa itu. masyarakat Arab mungkin merasa bahwa mukjizat spektakuler seperti terbelahnya bulan dapat menegaskan kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah di tengah masyarakat yang skeptis, terutama dari kalangan Quraisy.

4.    Interpretasi Ayat Al-Qur'an

Rasyid Ridha menafsirkan Surah Al-Qamar ayat 1: _"اقتربت الساعة وانشق القمر"_ (Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan) sebagai sesuatu yang bersifat metaforis, bukan literal. Menurutnya: Ayat ini menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah tanda atau isyarat akan datangnya kiamat, bukan mukjizat yang terjadi di masa Nabi. Kata _“انشق”_ (terbelah) dapat dipahami sebagai gambaran kehancuran yang akan terjadi di akhir zaman, bukan sebagai kejadian fisik di masa lalu. Ridha mengkritik pemahaman literal terhadap ayat ini karena, menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan konteks logika dan pesan moral Al-Qur'an.

5.    Kelemahan dalam Riwayat Hadis

Meskipun hadis tentang terbelahnya bulan diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih seperti shahih Bukhari dan Muslim, Ridha menyoroti beberapa aspek berikut:

Ø Beberapa jalur periwayatan hadis tersebut, menurutnya, memiliki kelemahan dalam sanad.

Ø Ia menganggap adanya kemungkinan bahwa hadis-hadis ini dipengaruhi oleh tradisi cerita rakyat atau ekspektasi umat Islam tentang mukjizat Nabi.

Ridha berpendapat bahwa mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad yang disebutkan dalam hadis perlu ditelaah ulang untuk memastikan tidak ada unsur pembesar-besaran yang dilakukan oleh perawi.

berikut adalah poin-poin utama kritiknya terhadap sanad hadits tersebut:

a. Keberagaman dalam Narasi Peristiwa

Hadis tentang terbelahnya bulan diriwayatkan melalui beberapa jalur, terutama dari sahabat seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, dan Abdullah bin Abbas. Menurut Rasyid Ridha:

·       Terdapat variasi dalam narasi hadis tersebut, terutama terkait rincian peristiwa. misalnya, bagaimana bulan "terbelah" dan bagaimana respons kaum Quraisy. Variasi ini dianggap Ridha sebagai indikasi potensi penambahan cerita dalam jalur periwayatan. Beberapa riwayat hanya menyebutkan bahwa "bulan telah terbelah," sementara lainnya memberikan detail tambahan yang berbeda.

Contoh Variasi:

·       Dalam riwayat Anas bin Malik (seperti dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim), disebutkan bahwa orang-orang Quraisy meminta mukjizat, lalu bulan terbelah menjadi dua.

·       Dalam beberapa riwayat lain, seperti riwayat yang berasal dari Abdullah bin Mas'ud dan Jubair bin Mut’im tidak ada permintaan dari orang-orang Quraisy, tetapi peristiwa itu terjadi sebagai tanda kenabian.

Ridha memandang bahwa variasi ini menunjukkan kemungkinan kelemahan dalam kesinambungan narasi.

b. Tidak Ada Konsensus Periwayatan dari Berbagai Sahabat

Meskipun hadis ini terdapat dalam kitab-kitab sahih, Rasyid Ridha mengkritisi bahwa riwayat tentang terbelahnya bulan tidak disampaikan secara masyhur (diriwayatkan oleh banyak sahabat). Peristiwa yang sebesar itu, menurutnya seharusnya dilaporkan oleh lebih banyak saksi mata dari kalangan sahabat, mengingat dampaknya yang sangat besar. Maka Rasyid Ridha mengkritisi Hadits tersebut sebab:

·       Jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis ini relatif sedikit untuk suatu peristiwa yang dianggap mukjizat besar.

·       Ia mempertanyakan mengapa banyak sahabat terkenal lainnya yang hidup di masa itu tidak meriwayatkan atau menyinggung peristiwa ini.

c. Potensi Penyesuaian dengan Tafsir Ayat

Ridha mencurigai bahwa riwayat tentang terbelahnya bulan mungkin muncul sebagai upaya untuk menafsirkan Surah Al-Qamar ayat 1 (_"اقتربت الساعة وانشق القمر"_) secara literal. Ia menyebut kemungkinan adanya "ta’wil" atau penyesuaian riwayat dengan pemahaman literal terhadap ayat tersebut. Menurut Ridha kemungkinan besar ada indikasi bahwa:

·       Riwayat hadis mungkin dipengaruhi oleh pemahaman ulama terhadap ayat tersebut, bukan sebaliknya.

·       Peristiwa yang diriwayatkan dalam hadis ini lebih tampak sebagai tafsir literal terhadap Al-Qur'an daripada fakta historis yang sesungguhnya.

d. Ketergantungan pada Tradisi Lisan

Rasyid Ridha mengkritisi metode tradisional periwayatan hadis, yang sangat bergantung pada tradisi lisan (hafalan) selama beberapa dekade sebelum dikodifikasi. Dalam konteks hadis ini, ia menyatakan bahwa:

·       Ada kemungkinan bahwa cerita tentang terbelahnya bulan merupakan pengaruh dari kisah atau mitos yang berkembang di kalangan umat Islam generasi awal untuk menonjolkan mukjizat Nabi.

·       Meskipun sanadnya tampak kuat, Ridha mempertanyakan bagaimana cerita itu dapat diverifikasi secara objektif.

Kritik Rasyid Ridha terhadap sanad hadis ini lebih bersifat metodologis daripada spesifik pada satu perawi atau jalur sanad. Ia mempertanyakan keabsahan hadis ini karena kurangnya saksi sahabat yang luas, adanya variasi dalam narasi, serta ketergantungan pada tradisi lisan. Selain itu, Ridha cenderung mengutamakan pendekatan rasional dan historis dibandingkan menerima hadis semata-mata berdasarkan kekuatan sanad seperti kebiasaan ulama tradisional.

6.    Kecenderungan Rasionalisme

Ridha memandang Islam sebagai agama yang sangat rasional dan menekankan mukjizat terbesar Nabi Muhammad adalah Al-Qur'an. Menurutnya:

·       Mukjizat fisik seperti terbelahnya bulan kurang relevan untuk menegaskan kenabian di hadapan masyarakat modern.

·       Keimanan umat Islam seharusnya lebih didasarkan pada ajaran moral, etika, rasional dan keajaiban Al-Qur'an daripada peristiwa-peristiwa supernatural yang sulit diverifikasi.

Rasyid Ridha menolak hadis tentang terbelahnya bulan berdasarkan pendekatan rasional, kritik terhadap sanad hadis, dan tafsir metaforis terhadap Al-Qur'an. Pendekatan ini mencerminkan usahanya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan pandangan dunia modern, tetapi tetap menjadi pendapat minoritas di kalangan ulama Islam. Pendekatan kritisnya ini mencerminkan perspektif rasionalis yang menekankan pentingnya memisahkan fakta sejarah dari mitos atau ekspektasi budaya. Meski argumen Ridha menarik, pandangan ini mendapat kritik dari mayoritas ulama tradisional. Mereka menilai:

·       Pendekatan rasionalisme Ridha terlalu menekankan standar modern terhadap kejadian yang terjadi dalam konteks sejarah yang berbeda.

·       Hadis tentang terbelahnya bulan memiliki sanad yang kuat, dan keabsahannya tidak dapat digugurkan hanya karena kurangnya bukti historis global.

C. Pendapat kaum Mu'tazilah dan orientalis

Hadis tentang terbelahnya bulan telah menjadi subjek kritik dan skeptisisme tidak hanya dari Rasyid Ridha tetapi juga dari kalangan Mu'tazilah dan sejumlah orientalis. Mu'tazilah adalah aliran teologis dalam Islam yang mengutamakan akal dan prinsip rasionalitas. Beberapa tokoh mereka seperti Abu al-Hudhayl al-‘Allaf dan al-Jahiz, mengkritik hadis tentang terbelahnya bulan karena tidak sesuai dengan pendekatan logis dan empiris yang mereka gunakan dalam menilai mukjizat.

1.    Argumen Mu'tazilah

Berikut adalah Argumen Mu'tazilah tentang kritiknya terhadap hadis terbelahnya bulan

a.    Ketidaksesuaian dengan Prinsip Rasionalitas:

Mereka memandang peristiwa bulan terbelah sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi secara fisik, karena melibatkan perubahan pada benda-benda langit yang tidak sesuai dengan hukum alam yang tetap. Menurut mereka, Allah tidak akan mengubah hukum alam untuk membuktikan kenabian.

b.    Ketiadaan Catatan Global:

Jika bulan benar-benar terbelah, maka fenomena ini seharusnya tercatat dalam catatan sejarah atau pengamatan astronomi peradaban lain pada masa itu, seperti di Romawi, Persia, atau India. Ketiadaan bukti ini menjadi alasan mereka untuk menolak keabsahan hadis tersebut.

c.     Alternatif Penafsiran:

Beberapa tokoh Mu'tazilah menafsirkan peristiwa ini sebagai mukjizat metaforis atau simbolis, bukan fenomena fisik yang nyata. Mereka berpendapat bahwa ayat Al-Qur'an yang menyebut terbelahnya bulan (QS Al-Qamar: 1) mungkin mengacu pada peristiwa di Hari Kiamat atau memiliki makna kiasan.

Selain kalangan Mu’tazilah yang menolak hadits terbelahnya bulan, Kalangan Orientalis juga menolak hadits tersebut. Para orientalis yang mempelajari Islam dari sudut pandang akademis sering kali skeptis terhadap hadis-hadis yang menyangkut mukjizat, termasuk hadis tentang terbelahnya bulan. Diantara tokoh tokoh orientalis tersebut yang terkenal diantaranya William Muir, David Samuel Margoliouth, dan John Wansbrough.

2.    Argumen Kalangan Orientalis

Berikut adalah Argumen Kalangan Orientalis tentang kritiknya terhadap hadis terbelahnya bulan

a.    Kemungkinan Mitos atau Cerita Rakyat:

William Muir dan John Wansbrough berpendapat bahwa kisah terbelahnya bulan mungkin berasal dari tradisi cerita rakyat yang dimasukkan ke dalam narasi Islam untuk memperkuat legitimasi Nabi Muhammad sebagai seorang rasul. Mereka menunjukkan bagaimana tradisi mukjizat sering kali dikaitkan dengan nabi-nabi atau tokoh agama di banyak budaya sebagai cara untuk menginspirasi keimanan.

b.    Kurangnya Verifikasi Historis:

Para orientalis mencatat bahwa peristiwa seperti terbelahnya bulan, yang seharusnya bersifat universal, tidak tercatat dalam sumber sejarah lain di luar Islam. Mereka memandang ini sebagai indikasi bahwa kisah tersebut mungkin bersifat lokal dan tidak benar-benar terjadi.

c.     Kemungkinan Pengaruh dari Tradisi Lain:

Beberapa orientalis, seperti Margoliouth, mencurigai adanya pengaruh dari tradisi Yahudi atau Kristen yang memiliki kisah mukjizat serupa. Kisah seperti Musa yang membelah Laut Merah atau Yesus yang melakukan mukjizat sering kali dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi tradisi mukjizat dalam Islam.

d.    Kritik terhadap Periwayatan Hadis:

Orientalis juga sering mengkritik metodologi periwayatan hadis, dengan alasan bahwa transmisi lisan rentan terhadap interpolasi, hiperbolisasi, atau distorsi. Mereka mempertanyakan keabsahan jalur sanad hadis ini, terutama yang berasal dari individu-individu yang dikenal memiliki kelemahan dalam kredibilitasnya.

D. Penolakan Lain dari Kalangan Muslim Rasionalis

Selain Mu'tazilah dan orientalis, ada juga tokoh-tokoh Muslim rasionalis yang meragukan hadis ini, seperti: Syed Ahmad Khan (1817–1898): Seorang modernis Islam asal India yang menolak hadis ini berdasarkan alasan ilmiah dan logis. Ia berpendapat bahwa mukjizat Nabi Muhammad lebih bersifat moral dan spiritual daripada fisik.

Argumen Ahmad Khan:

·       Mukjizat fisik seperti terbelahnya bulan tidak konsisten dengan pemahaman modern tentang alam semesta.

·       Islam tidak membutuhkan narasi mukjizat fisik untuk membuktikan keunggulannya sebagai agama rasional.

Kesimpulan

Peristiwa terbelahnya bulan yang disebutkan dalam hadis dan Al-Qur’an menjadi salah satu topik yang menarik perhatian dalam diskusi tentang mukjizat Nabi Muhammad SAW. Mayoritas ulama hadis menganggap peristiwa ini sebagai mukjizat yang sahih berdasarkan sanad yang kuat dan dukungan tafsir terhadap Surah Al-Qamar. Mereka melihat kejadian ini sebagai bukti kenabian Nabi Muhammad dan tanda dari dekatnya hari kiamat. Meski demikian, kritik terhadap hadis ini tetap ada, terutama dari kalangan ulama modernis, seperti Rasyid Ridha, yang menyoroti keterbatasan bukti historis global dan mempertanyakan penafsiran literal terhadap ayat-ayat terkait.

Pandangan kritis terhadap hadis ini juga datang dari kelompok Mu’tazilah dan orientalis, yang mengutamakan pendekatan rasional dan historis. Mereka berpendapat bahwa peristiwa seperti terbelahnya bulan seharusnya tercatat secara global dan mempertanyakan apakah hadis ini benar-benar mencerminkan kejadian faktual atau sekadar tradisi lisan yang diwariskan di masyarakat Arab. Kalangan Muslim rasionalis modern, seperti Syed Ahmad Khan, lebih menekankan pada keunggulan spiritual dan etika Islam daripada narasi mukjizat fisik yang sulit diverifikasi secara ilmiah.

Dalam konteks ini, diskusi mengenai terbelahnya bulan mencerminkan keragaman pendekatan dalam memahami teks-teks agama. Di satu sisi, pendekatan tradisional menekankan kekuatan sanad dan keimanan terhadap mukjizat, sementara di sisi lain, pendekatan rasionalis menekankan konsistensi logis dan relevansi historis. Keduanya menunjukkan dinamika dalam tradisi keilmuan Islam, sekaligus membuka ruang untuk dialog antara keimanan dan pemikiran kritis di era modern.

Post a Comment

Previous Post Next Post